JAKARTA, KOMPAS.com- Pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) di Nusa Dua, Bali, Rabu (27/8/2014) malam, diapresiasi. Pertemuan itu dianggap sebagai tradisi proses transisi yang elegan.
"Saya melihat pertemuan di Bali ini adalah tradisi baru yang bagus, elegan dalam konteks transisi pemerintahan," ujar Pakar Komunikasi Politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Gun Gun Haryanto, saat dihubungi, Kamis (28/8/2014).
Gun Gun menuturkan, pertemuan itu juga telah menghilangkan jarak antar-pemerintahan seperti yang terjadi pada proses pergantian pemerintahan pada 2004 dari Presiden kelima Megawati Soekarnoputri kepada SBY. Menurut Gun Gun, pertemuan antara Presiden dan presiden terpilih memang penting dilakukan.
Saat Jokowi nantinya resmi menjabat presiden, akan banyak kondisi sosial ekonomi yang harus ditanganinya segera.
"Salah satu existing condition, yang harus dihadapi Jokowi adalah terkait pembatasan BBM bersubsidi, bisa jadi Jokowi akan melalui fase turbulensi," kata dia.
Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut, maka Jokowi perlu berkomunikasi dengan Presiden SBY dengan menyelaraskan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015.
"Jokowi tentu tidak mau start dengan buruk karena ini terkait indikator harapan publik, tidak bisa tidak maka komikasi dengan SBY untuk selaraskan, tentang ruang fiskal dan BBM," ujarnya.
Jokowi yang akan dilantik sebagai presiden ke-7 pada 20 Oktober mendatang akhirnya dapat berbicara empat mata dengan SBY selama 1 jam 50 menit. Mereka bertemu sejak pukul 21.00 hingga pukul 22.50.
Dalam keterangan pers seusai pertemuan, Presiden dan Jokowi menyatakan, pembicaraan yang dilakukan bersama Jokowi meliputi berbagai agenda kenegaraan dan pemerintahan, terutama agenda pada akhir tahun 2014 dan awal 2015.
Keduanya sepakat agar pembicaraan ditindaklanjuti secara lebih teknis antara Tim Transisi Jokowi-JK dan jajaran pemerintahan sekarang.
Komentar Facebook